Detail Berita
LANGKAH UNTUK EVALUASI KINERJA INVESTASI
Kita perlu rutin mengevaluasi kinerja investasi untuk lebih mengoptimalkan dana yang diinvestasikan.
Bareksa.com - Evaluasi kinerja investasi perlu dilakukan oleh seorang investor. Tujuannya tak lain untuk mengetahui sudah sejauh mana target dan tujuan investasi hendak dicapai.
Misalnya, jika kita rutin berinvestasi setiap bulan di sebuah produk investasi yang diasumsikan mampu tumbuh 10 persen per tahun, selama 4 tahun ke depan. Tentu langkah tersebut sudah menghitung berapa target dana yang hendak Anda kumpulkan.
Untuk memastikan asumsi hitungan tujuan keuangan yang sudah dipatok terpenuhi, makanya Anda perlu rutin mengecek kinerja investasi tersebut. Umumnya, seseorang perlu mengevaluasi kinerja investasi yang dia miliki minimal setiap akhir tahun atau setiap semester.
Bingung bagaimana melakukan evaluasi investasi?
Berikut empat langkah melakukan evaluasi investasi :
1. Cek
Ketika pertama kali berinvestasi di sebuah instrumen investasi, jangan lupa untuk mencatat dan mengingat harga beli ketika itu. Misalnya, Anda berinvestasi rutin di reksadana saham A, catatlah berapa harga unit penyertaan dan nilai aktiva bersih reksadana tersebut ketika pertama kali Anda membeli (initial subscription).
Tujuannya tak lain, dengan mengetahui harga sebuah instrumen investasi ketika pertama kali membelinya, Anda bisa menghitung berapa pertumbuhannya atau penurunannya selama setahun belakang. Tapi bagaimana bila Anda lupa tidak mencatat harga pertama pembelian? Tenang.Jika Anda berinvestasi di reksadana, manajer investasi akan mengirimkan kinerja dana Anda secara rutin atau Anda bisa memintanya kepada manajer investasi.
2. Bandingkan
Setiap instrumen investasi pasti memiliki acuan untuk mengukur pertumbuhan harga. Misalnya, Anda berinvestasi di saham atau reksadana saham, maka acuan atau benchmark yang bisa Anda bandingkan adalah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).Selain itu, Anda juga memanfaatkan indeks acuan yang dirilis oleh beberapa institusi.
Hal yang sama juga dapat Anda lakukan pada kinerja saham.
3. Evaluasi
Ada baiknya sebelum berinvestasi ke sebuah instrumen, Anda sudah memiliki tujuan keuangan yang hendak dicapai. Sebagai contoh, kebutuhan dana pensiun atau dana pendidikan anak yang hendak Anda gunakan enam tahun lagi adalah Rp100 juta.
Untuk bisa mencapai target dana tersebut, Anda perlu berinvestasi di sebuah instrumen investasi yang mampu tumbuh minimal 15 persen per tahun selama enam tahun Rp850 ribu per bulan.
Selanjutnya, saat melakukan evaluasi rutin seperti di akhir tahun, terungkap bahwa kinerja instrumen investasi yang Anda gunakan untuk meraih tujuan keuangan tersebut hanya 10 persen per tahun. Ada selisih cukup besar dari asumsi pertumbuhan awal yaitu sebesar 5 persen. Jika demikian, ada risiko target dana yang Anda kejar tidak tercapai apabila kinerja di bawah asumsi tersebut terjadi terus-menerus.
Dari sini, Anda bisa menimbang langkah lanjutan supaya target dana dalam tujuan keuangan tersebut bisa tercapai.
4. Ambil Keputusan
Ketika asumsi awal yang Anda gunakan dalam penghitungan tujuan keuangan meleset, maka Anda memiliki beberapa opsi pasca-evaluasi. Pertama, switching atau mengalihkan investasi ke instrumen investasi lain yang mencetak kinerja lebih bagus dan sesuai dengan asumsi hitungan awal Anda.
Kedua, memangkas kerugian (cutloss) dan switching ke instrumen berbeda. Kinerja investasi Anda ternyata di bawah target. Setelah melihat tren ke depan, banyak prediksi ahli yang menyebut kondisi pasar belum akan membaik dalam jangka pendek. Hal tersebut mungkin menjadi sinyal bagi Anda untuk menempuh aksi cutloss dan mengalihkan investasi ke instrumen lain yang lebih rendah risiko sekaligus masih mampu memenuhi asumsi hitungan awal.
Misalnya, Anda berasumsi investasi saham C mampu tumbuh minimal 7 persen per tahun. Tapi, pada kenyataannya kinerja investasi saham C tersebut hanya sebesar 3 persen per tahun. Anda pun tak yakin kinerjanya tahun depan akan lebih baik.
Nah, jika sudah demikian, cutloss adalah yang paling mungkin dan mengalihkan investasi di instrumen lain dengan proyeksi return lebih baik. Misalnya, mengalihkan investasi ke instrumen berpendapatan tetap seperti Surat Berharga Negara (SBN) Ritel.
Ketiga, menambah modal investasi (top up). Jika mendapati bahwa kinerja instrumen investasi yang dipilih ternyata di bawah asumsi awal tapi Anda optimis bahwa kinerja investasi tersebut akan berbalik tumbuh tinggi tahun depan, bisa menambah modal investasi.
Sebagai contoh, Anda membeli saham D seharga Rp1.000 per saham dengan asumsi pertumbuhan 15 persen per tahun. Investasi ini ditujukan untuk dana pensiun kelak.Jika ternyata pertumbuhan harganya setahun ini justru turun 3 persen.
Dengan berbekal analisa fundamental dan proyeksi jangka panjang, Anda optimistis bahwa harga saham tersebut akan menembus Rp1.500 tahun depan. Anda justru bisa memanfaatkan momen kejatuhan harga saham tersebut untuk membeli lebih banyak dengan harapan memperoleh keuntungan lebih optimal saat harganya menembus Rp1.500 per saham.
Apapun bentuk investasi yang Anda pilih, pastikan lebih dahulu sesuai dengan profil risiko ya.